Bayar Pakai OVO, Riba?

Oleh: Muhammad Syamsudin

Di zaman kemajuan dan penuh teknologi ini, jika tidak adaptif dengan teknologi kemajuan maka akan tergilas oleh zaman. Bila dulu ada seseorang hendak memesan makanan, maka dia menyuruh orang kepercayaannya untuk membelikan makanan yang dia mau. Namun dewasa ini, hal semacam sudah ditinggalkan oleh masyarakat. Saat ini sudah ada perusahaan yang bergerak dalam jasa bidang jasa khusus kurir makanan, yang bisa diminta oleh seorang konsumen dengan hanya mengeklik tombol pesan makanan tertentu atau obat tertentu di apotek. Harganya jelas terpampang di sana berbagai jenis menu yang ditawarkan dan sekaligus biaya kurir pengantarnya. Namun, bagaimanapun juga, teknologi adalah teknologi. Dalam penerapannya, tetaplah menyisakan persoalan hukum, khususnya dalam bidang fiqih.

Sebut misalnya adalah Fulan. Ia adalah orang yang berprofesi dalam jasa sebagai kurir sebuah perusahaan jasa transportasi online. Salah satu jasa layanannya adalah kurir pembelian makanan. Untuk memudahkan transaksi, perusahaan memberinya sebuah bekal akun aplikasi pembayaran (OVO) yang dengannya ia mendapatkan keuntungan berupa cashback (sebut saja 10 persen) untuk setiap transaksinya dan sekaligus mendapatkan poin-poin setiap melakukan transaksi pada tiap jenis usaha (misalkan restoran) yang menyediakan dan melayani sistem pembayaran tersebut.

Pada suatu kesempatan, Fulan mendapat orderan pembelian makanan seharga 50 ribu rupiah di sebuah restoran yang melayani pembayaran lewat OVO. Agar mendapatkan keuntungan, Fulan kemudian memanfaatkan pembayaran lewat jasa aplikasi OVO ini. Artinya, Fulan hanya mengeluarkan biaya sebesar 45 ribu rupiah (setelah mendapatkan cashback 10 persen) yang diambil dari akun aplikasinya. Adapun konsumen pemesan makanan Fulan, menerima 50 ribu sesuai harga sebenarnya yang tertera dalam aplikasi tersebut yang tentu ditambah dengan ongkos jasa kurir. Dengan demikian Fulan mendapatkan selisih 5 ribu ditambah ongkos jasa kurir.

Yang dipermasalahkan masyarakat selaku konsumen biasanya adalah bolehkah Fulan ini bermuamalah sebagaimana tertera di atas dengan memanfaatkan transaksi dengan sistem cashback OVO itu? Jika tidak boleh (haram), mengapa dan bagaimana agar cara bermuamalah tersebut menjadi dibolehkan?

Untuk menjawab permasalahan model transaksi online semacam ini, maka pertama kali yang harus dipahami adalah relasi antara konsumen – kurir – perusahaan penyedia makanan dengan perusahaan jasa penyedia jasa layanan online. Perusahaan online berkedudukan sebagai penjual jasa periklanan, dan ia berhak mendapatkan upah atas kerjanya dari perusahaan makanan atas setiap transaksi pemesanan yang menggunakan jasa yang disediakannya dengan besaran tertentu.

Kurir memiliki kedudukan ganda, yaitu sebagai wakil dari perusahaan jasa layanan online berdasarkan ikatan kontrak yang harus dipatuhi. Ia umumnya bertugas melakukan eksekusi terhadap transaksi yang masuk. Selain sebagai wakil perusahaan, kurir juga berperan selaku wakil dari konsumen untuk membelikan makanan sebagaimana yang tertera dalam iklan dan sudah diketahui nilai harganya. Ongkos jasa kurir umumnya juga sudah diketahui dengan pasti oleh konsumen.

Transaksi pembelian yang dilakukan oleh konsumen lewat aplikasi pemesanan termasuk akad bai’ maushufun fi al-dzimmah, yaitu jual beli barang dalam tanggungan dan hukumnya sah secara syara’. Transaksi ini dalam konteks fiqih muamalah juga dikenal sebagai transaksi salam (pemesanan).

Pola tipe pembayaran pesanan konsumen kepada kurir umumnya ada dua, yaitu pembayaran tertunda setelah barang diterima oleh konsumen dan kadang pembayaran dilakukan lewat saldo deposit OVO yang dimilikinya. Keduanya memiliki tipe yang berbeda terhadap hubungannya dengan kurir. Keperbedaan itu adalah karena kurir berperan selaku pihak yang mengutangi terlebih dulu kepada konsumen. Beberapa orang menyebutnya sebagai haram karena termasuk riba disebabkan akad jual beli dengan mengambil untung yang digabungkan dengan pesan. Mereka lupa bahwa ada ikatan kontrak yang bersifat mengikat dan harus ditepati antara perusahaan jasa online dengan kurir. Ikatan kontrak ini merupakan satu kesatuan paket antara perusahaan jasa online dengan kurirnya sebagai wujud pengamalan bahwa laba harus bisa dijamin. Imam Ahmad bin Hanbal menjelaskan maksud konteks hadits ini sebagai berikut:

حدثنا أحمد بن منيع حدثنا إسمعيل بن إبراهيم حدثنا أيوب حدثنا عمرو بن شعيب قال حدثني أبي عن أبيه حتى ذكر عبد الله بن عمرو أن رسول الله ﷺ قال لا يحل سلف وبيع ولا شرطان في بيع ولا ربح ما لم يضمن ولا بيع ما ليس عندك قال أبو عيسى وهذا حديث حسن صحيح

Artinya: “Rasulullah ﷺ bersabda: “tidaklah halal pesanan dan jual beli, dua syarat dalam satu jual beli, mengambil laba selagi barang tidak bisa dijamin, dan jual beli barang yang tidak ada di sisimu. Abu Isa berkata: hadits ini hasan shahih.” (Muhammad bin Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfury, Tuhafatu al-Ahwadzy, Damaskus: Daru al-Kutub Ilmiyah, tt.: 4/359)

Struktur kalimat yang terdapat dalam hadits ini merupakan satu kesatuan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inti utama hadits adalah terdapat di dalam penggalan kalimat “mengambil laba selagi barang tidak bisa dijamin.” Imam Ahmad bin Hanbal sebagaimana dikutip oleh Syeikh Muhammad Abdurrahman al Mubarakfury dalam kitab yang sama memberi penegasan bahwa yang dimaksud dengan مالم يضمن (selagi tidak bisa dijamin) adalah مالم تقبض (selagi tidak bisa diterima).

Berdasarkan penafsiran ini, maka dalam konteks relasi jual beli sebagaimana yang dipraktekkan oleh “seorang jasa kurir yang terikat kontrak dengan jasa online ini” dengan “konsumen” dan perusahaan makanan, yang mana apabila pembayaran konsumen memakai fasilitas pembayaran cash, adalah boleh dan tidak termasuk riba disebabkan jelasnya harga.

Adapun peran jasa kurir yang membayar makanan dengan fasilitas OVO sehingga ia mendapatkan laba dari selisih transaksi bila dibandingkan dengan memakai cash adalah bukan termasuk bagian dari akad jual beli. Deposit OVO yang dimiliki oleh kurir adalah ibarat transaksi pembelian pulsa yang sepakat diputus oleh para ulama’ sebagai akad sewa aplikasi OVO dengan qiimah (nilai barang) 45 ribu dan harga deposit senilai 50 ribu rupiah.

Nilai uang yang dititipkan oleh konsumen kepada kurir online bukan termasuk akad wadi’ah yadu al-amanah, disebabkan uangnya belum disampaikan oleh konsumen ketika kurir pergi ke perusahaan makanan untuk mendapatkan barang yang dipesan konsumen. Nilai uang yang dititipkan oleh konsumen termasuk akad wadi’ah yadu al-dlamanah, dengan ciri yang penting bagi konsumen adalah mendapatkan barang pesanan dengan nilai sebagaimana tertera dalam nota pesanan.

Apa yang sudah dijelaskan di atas adalah pemakaian jasa kurir online oleh konsumen dengan pola apabila konsumen memakai jasa layanan online dengan model pembayaran cash. Bagaimana apabila konsumen membayarnya dengan menggunakan aplikasi OVO juga yang berarti tidak memakai uang cash? Insyaallah akan dijelaskan pada tulisan berikutnya. Wallahu a’lam bish shawab.

Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah

Komentar