Kutukan dan Peluang Calon Petahana di Pilwakot Bengkulu

Tajuk Rencana-bengkuluone.co.id, Pilwakot Bengkulu 2018 akan dilaksanakan pada 27 juni mendatang yang diikuti empat pasang calon Walikota dan wakil walikota ikut bertarung dalam perhelatan Pesta Demokrasi tersebut.

Dalam pertarungan tersebut publik dihadapkan dua piliha yaitu wajah lama dan wajah wajah baru, seperti Mantan walikota Bengkulu Helmi Hasan yang kembali maju sebagai calon walikota didampingi oleh Dedy Wahyudi sebagai wakil yang merupakan variasi antara calon petahana dan wajah baru.

Kembali mencalonnya Petahana dalam Pilwakot Bengkulu dinilai memiliki peluang yang besar untuk kembali menduduki kursi walikota Bengkulu untuk keduakalinya. Benarkah calon petahana memiliki peluang besar untuk terpilih kembali?

Kecenderungan yang terjadi di negara-negara  demokrasi seperti Indonesia, calon petahana memang memiliki kesempatan yang sangat besar untuk terpilih kembali. Menurut Cox dan Katz (1996), ada tiga faktor yang membuat calon petahana terpilih kembali.

Pertama, pengaruh langsung, yaitu pengaruh yang didapatkan dari berbagai bentuk pelayanan yang diberikan kepada masyarakat selama periode kekuasaan sebelumnya. Kedua, pengaruh kualitas kandidat, misalnya keterampilan menghadapi pemilih dalam kampanye. Pengaruh ini dibentuk selama periode kekuasaan sebelumnya. Ketiga, pengaruh dalam memberikan keraguan kepada penantang. Tiga faktor ini yang kemudian populer dalam literatur ilmu politik dengan sebutan ‘keuntungan petahana’.

Namun sebenarnya calon petahana juga memiliki keterbatasan. Hal ini terjadi jika calon petahana dianggap memiliki kinerja yang rendah semasa jabatannya di kalangan pemilih. Apalagi jika calon petahana tersebut juga diterpa isu-isu yang terkait dengan integritas, seperti korupsi, Asusila, Perselingkuhan. Di sisi lain, penantang mampu mengeksplor kelemahan-kelemahan calon petahana dalam kampanye. Apalagi jika penantang mampu meyakinkan publik akan program-program alternatif. Dengan demikian, penantang memiliki modal awal yang bagus jika mampu menumbuhkan keraguan di kalangan pemilih terhadap calon petahana. Hal ini karena evaluasi retrospeksi pemilih akan lebih difokuskan kepada calon petahana ketimbang penantang

Yang menarik, kecenderungan yang terjadi di negara-negara yang demokrasi justru berkebalikan. Alih-alih mendapatkan keuntungan, di sini para petahana justru mendapatkan ‘kutukan petahana’ (Lucardi dan Rosas: 2016). Hal ini dikarenakan empat faktor.

Pertama, penantang mampu mengeksplor kelemahan petahana selama menjabat, terutama yang terkait dengan kasus korupsi, kolusi dan nepotisme.

Kedua, perilaku memilih masyarakat yang berorientasi pada penyeimbangan.

Ketiga, sistem pilkada dengan suara mayoritas membuat pemilih tidak memiliki lagi kesempatan untuk ‘coba-coba’. Inilah yang kemudian menjelaskan masih banyaknya pemilih yang belum memutuskan. Pengalaman di beberapa demokrasi baru, pemilih seperti ini akhirnya justru memberikan pilihannya kepada penantang ketimbang petahana. Poin tiga ini sangat terkait dengan poin pertama.

Keempat, intervensi dari politisi di tingkatan yang lebih tinggi (misalnya gubernur, menteri atau presiden) dengan memihak petahana juga seringkali menjadi bumerang bagi petahana. Pemilih menganggap bahwa petahana ternyata tidak memiliki kapasitas dan kemandirian. Poin ini sangat terkait dengan poin kedua.

 

Komentar