Mengenal filosofi dan tujuan mediasi

Opini oleh : Ifsyanusi, M.Si (mediator bersertifikat)

Dalam kehidupan bermasyarakat, sebagai individu yang berkelompok dan hidup berdampingan senantiasa terjadi perselisihan (persengketaan atau konflik) yang disebabkan oleh berbagai kepentingan dan kebutuhan dari subjek hukum baik perorangan maupun kelompok orang.

Persinggunganini tentunya merupakan bagian dari kedinamisan hubungan manusia yang lumrah dan wajar, bahkan mungkun sampai menimbulkan perselisihan. Memang menjadi sangat tepat bila sedapat mungkin persinggungan karena perbedaan kepentingan dan kebutuhan itu diminimalisasi. Namun, ketika upaya itu sudah secara maksimal dilakukan, dan masih juga terjadi persinggungan yang menimbulkan perselisihan, maka yang perlu menjadi perhatian kita semua adalah bagaimana perselisihan atau persengketaan atau konflik itu diselesaikan dengan cara yang bijak oleh para pihak yang berkepentingan.

Implementasi cara yang bijaksana sebagaimana telah dibakukan oleh para Pendiri Negara (The Founding Fathers) adalah mengoptimalisasikan akal dan budi untuk bermusyawarah mufakat, sebagaimana nilai yang telah terkandung dalam Sila Keempat Pancasila. Musyawarah mufakat yang telah digali dari nilai-nilai kearifan lokal dari berbagai suku dan bangsa di Indonesia, (dalam terminologi kekinian lebih dikenal dengan proses negosiasi) dalam upaya mencapai suatu kesepahaman dan kesepakatan diantara para pihak yang berkepentingan.

Dengan meyakini kebenaran nilai-nilai Musyawarah mufakat sebagai suatu pandangan hidup bangsa Indonesia, yang sudah seyogyanya wajib diutamakan dalam rangka mempersatukan dan mengakomodir berbagai argumentasi atas suatu kepentingan dan kebutuhan, maka menjadi suatu kewajiban yang rasional pula bagi pemangku kepentingan untuk berupaya secara optimal mengaktualisasikan nilai-nilai musyawarah mufakat tersebut. Selanjutnya pertanyaan besarnya adalah, bagaimana cara mengimplementasikan nilai-nilai musyawarah mufakat tersebut secara optimal agar dapat mempersatukan dan mengakomodir berbagai perbedaan kepentingan dan kebutuhan dari para pihak yang berselisih/berkonflik.

Dalam kekinian baik, regional, nasional maupun global telah berkembang dan diimplementasikan suatu pendekatan bijak yang berlandaskan pada nilai-nilai kebersamaan, kekeluargaan, saling-ketergantungan, kepercayaan dan gotong royong (sinergitas) dari para pihak yang berselisih/berkonflik, guna tercapainya suatu kesepahaman dan kesepakatan yang dapat mengakomodir kepentingan dan kebutuhan serta yang dapat dirasakan adil oleh para pihak berselisih/berkonflik. Pendekatan bijak yang mengaktualisasikan nilai-nilai musyawarah mufakat secara optimal tersebut dikenal dengan “Mediasi”.

Mediasi menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur mediasi di pengadilan adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator, selanjutnya Mediator adalah Hakim atau pihak lain yang memiliki Sertifikat Mediator sebagai pihak netral yang membantu Para Pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian, dan dijelaskan pula bahwa Para Pihak dengan bantuan Mediator bersertifikat yang berhasil menyelesaikan sengketa di luar Pengadilan dengan Kesepakatan Perdamaian dapat mengajukan Kesepakatan Perdamaian kepada Pengadilan yang berwenang untuk memperoleh Akta Perdamaian.

Akta Perdamaian merupakan putusan Hakim yang menguatkan Kesepakatan Perdamaian dari sebuah proses Mediasi yang telah dilaksanakan melalui teknik, proses dan tahapan yang sistematis, dengan bantuan dari orang yang berkeahlian, sebagai Mediator/Mediator bersertifikat sesuai dengan peraturan Mahkamah Agung.

Mediasi membuka peluang bagi para pihak yang berselisih/berkonflik untuk menemukan solusi terbaik dan dapat dirasakan lebih mendekati adil oleh para pihak sendiri. Meskipun begitu, Mediasi memang bukan obat mujarab untuk segala penyakit. Fakta di lapangan menunjukan bahwa tidak selalu dengan bermediasi maka akan tercapai suatu kesapakatan perdamaian. Sebagai contoh yang terjadi di Bengkulu baru-baru ini adalah konflik antara kelompok nelayan tradisional dengan kelompok nelayan trawl.

Namun melalui Mediasi setidaknya dapat membiasakan para pihak yang berkonflik untuk menggunakan rasionalitasnya, empatinya, serta menghentikan kebiasaan berkonflik dengan cara kekerasan. Pada suatu proses mediasi yang baik, setidak-tidaknya akan didapat suatu kristalisasi permasalahan yang dapat diterima oleh para pihak. Mediasi berperan memulihkan jaringan hubungan sosial (web relationship) dan dapat merubah Konflik menjadi suatu kerja sama (transformasi konflik), yang akan berkontribusi dalam pembangunan perdamaian.

Komentar