Mutasi PLT Gubernur


Tajuk Rencana – bengkuluone.co.id, Untuk mengisi kekosongan Kepala Daerah yang habis atau dihabiskan masa baktinya ataupun dinonaktifkan, maka ditunjuklah Pelaksana Tugas Kepala Daerah (Plt. Kepala Daerah) atau Pejabat Sementara Kepala Daerah (Pj. Kepala Daerah) berdasarkan peraturan yang berlaku.

Seperti yang terjadi di Provinsi Bengkulu diPimpin oleh Plt Gubernur Rohidin Mersyah dimana Gubernur Sebelumnya Riduan Mukti dinonaktifkan setelah dilakukan Operasi Tangkap Tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo mengatakan pihaknya hingga saat ini masih akan menunggu putusan hukum tetap terkait dengan status Ridwan. (22/6/2017) Meski berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Kepala Daerah dapat diberhentikan sementara atau nonaktif apabila tersangkut masalah hukum.

Seringkali penunjukan Plt Kepala Daerah ini menjadi perbincangkan, di masyarakat yang tentunya berangkat dari pemahaman dan kepentingan yang berbeda antara kaum elit di pemerintahan, tak jarang pula, ada suara-suara yang acap kali muncul bahwa Plt dapat ‘merombak’ pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ditinggalkan oleh Kepala Daerah Defenitif dengan ragam motif politik.

Pelaksana tugas (Plt) Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah mengatakan, meski sudah mendapat restu dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk melakukan mutasi pejabat eselon II, III dan IV di lingkup pemprov setempat, tapi pihaknya belum berencana melakukannya. Pemprov tetap memberdayakan pejabat yang ada saat ini. Rabu (6/9). Ia mengatakan, dirinya tidak hanya mendapat restu dari Mendagri untuk menggelar mutasi pejabat di lingkup Pemprov Bengkulu, tapi juga mengantongi rekomendasi dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), tapi hal ini belum dilakukan dalam waktu dekat.

Benarkah Plt Kepala Daerah mempunyai Tugas dan Kewenangan yang sama dengan Kepala Daerah Defenitif sehingga dapat dengan seenaknya ‘merombak’ Pimpinan SKPD yang ditinggalkan oleh Kepala Daerah sebelumnya.? untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita memahami aturan yang mengatur terkait hal dimaksud.

Untuk menjawab dan mengulas secara sederhana Kewenangan Kepala Daerah Defenitif dan Plt atau Pj Kepala Daerah, maka setidaknya berpijak pada tiga aturan yang mengatur hal tersebut, yakni Pertama, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; Kedua, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan Ketiga Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan.

Dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pada Pasal 65 (1) Kepala daerah mempunyai tugas: a. memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD; b. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat; c. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang RPJPD dan rancangan Perda tentang RPJMD kepada DPRD untuk dibahas bersama DPRD, serta menyusun dan menetapkan RKPD; d. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD, rancangan Perda tentang perubahan APBD, dan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD untuk dibahas bersama; e. mewakili Daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; f. mengusulkan pengangkatan wakil kepala daerah; dan g. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kemudian, bagaimana dengan Tugas dan Kewenagan Plt atau Pj Kepala Daerah. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 49 tahun 2008, pada Pasal 132A, berbunyi : Ayat (1) : “Penjabat kepala daerah atau pelaksana tugas kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 131 ayat (4), atau yang diangkat untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah karena mengundurkan diri untuk mencalonkan/dicalonkan menjadi calon kepala daerah/wakil kepala daerah, serta kepala daerah yang diangkat dari wakil kepala daerah yang menggantikan kepala daerah yang mengundurkan diri untuk mencalonkan/dicalonkan sebagai calon kepala daerah/wakil kepala daerah Dilarang : a. melakukan mutasi pegawai; b. membatalkan perijinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perijinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya; c. membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya; dan d. membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya”.

Selanjutnya pada Ayat (2)-nya : “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri”. Jika berdasarkan Undang Undang 32 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah 49 Tahun 2008, dapat disimpulkan Kewenangan seorang Pelaksana Tugas Kepala Daerah (Plt. Kepala Daerah) atau Pejabat Sementara Kepala Daerah (Pj. Kepala Daerah) sangatlah Terbatas tidak seluas kewenangan Kepala Daerah Defenitif.

Plt atau Pj Kepala Daerah tidak bisa sesukanya ‘merombak’ Pimpinan SKPD, sebagaimana anggapan yang kerap muncul dan tidak jarang ramai diperbicangkan oleh khalayak bahwa Plt atau Pj Kepala Daerah bisa sesuka perutnya ‘merombak’ Pimpinan SKPD. Plt atau Pj Kepala Daerah Dilarang melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Kebijakan yang dilakukan atau dibuat oleh Kepala Daerah sebelumnya, dan 4 (empat) Larangan sebagaimana bunyi ayat (1) Pasal 132A, PP 49 tahun 2008 itu, baru dapat dikecualikan apabila ada persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri).

Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, batasan-batasan ini diatur, meski tak begitu jelas. “Plh atau Plt melaksanakan tugas serta menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan rutin yang menjadi wewenang jabatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” demikian termaktub dalam Pasal 34 ayat 2 Undang Undang tersebut, “Apabila Pejabat Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhalangan menjalankan tugasnya, maka Atasan Pejabat yang bersangkutan dapat menunjuk Pejabat Pemerintahan yang memenuhi persyaratan untuk bertindak sebagai pelaksana harian atau pelaksana tugas”.

Oleh karena tak jelas batasan wewenangnya, Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengeluarkan Surat Kepala BKN No. K.26.30/V.20.3/99 tentang Kewenangan Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas dalam Aspek Kepegawaian pada 5 Februari 2016. Aturan ini memang sengaja dikeluarkan untuk memperjelas maksud Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

“Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui mandat tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran,” begitu salah satu poin penting tentang pembatasan wewenang Plt.

Lalu apa itu tindakan yang bersifat strategis? Seperti apa pula contoh perubahan status hukum kepegawaian? Penjelasannya tak tertuang dalam surat dari Kepala BKN namun termaktub secara jelas dalam penjelasan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Tindakan yang bersifat strategis didefinisikan sebagai tindakan yang memiliki dampak besar seperti penetapan perubahan rencana strategis dan rencana kerja pemerintah. Sementara perubahan status hukum kepegawaian meliputi melakukan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai.

Selain membatasi kewenangan, surat Kepala BKN itu juga menjelaskan wewenang dari Plt. Ada enam wewenang yang termaktub, yakni menetapkan sasaran kerja pegawai dan penilaian prestasi kerja, menetapkan kenaikan gaji berkala, menetapkan cuti selain cuti di luar tanggungan negara, menetapkan surat penugasan pegawai, menyampaikan usul mutasi kepegawaian kecuali perpindahan antar instansi; dan memberikan izin belajar, izin mengikuti seleksi jabatan pimpinan tinggi atau administrasi, juga izin tidak masuk kerja.

Beberapa bulan sebelum Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan diundangkan, Kementerian Hukum dan HAM pernah mengatur tentang Plt dalam Peraturan Menteri (Permen) Hukum dan HAM No.1 Tahun 2014. Menurut Permen itu, Plh atau Plt memiliki kewenangan yang sama dengan Pejabat struktural yang berhalangan sementara atau jabatan struktural yang lowong, kecuali untuk lima hal.
Lima hal itu adalah mengambil kebijakan yang berdampak pada anggaran, menetapkan keputusan yang bersifat substansial, menjatuhkan hukuman disiplin, memberikan penilaian kinerja terhadap pegawai, dan mengambil kebijakan yang mengikat lainnya.

Komisioner Komisi Aparatur Sipil Negara Tasdik Kinanto mengatakan, mutasi aparatur sipil negara boleh saja dilakukan, termasuk pemberhentian jabatan. Akan tetapi, mutasi harus dilakukan sesuai aturan yang berlaku. Ia menyoroti kebijakan yang dilakukan kepala daerah terhadap ASN. (22/5/2017). Menurut dia, alasan mutasi atau pemberhentian ASN yang dilakukan oleh kepala daerah harus jelas. Misalnya, alasan tersebut di antaranya karena melakukan pelanggaran, kompetensinya tak sesuai bidang yang dikerjakan, atau kinerja yang menurun.
“Jangan seperti mengelola warung, ‘Hari ini kamu (ASN) pindah’. Enggak boleh begitu, kasihan,” kata dia. Ia menambahkan, kepala daerah sebaiknya berkonsultasi terlebih dahulu dengan Komisi ASN sebelum mengambil kebijakan terhadap ASN. Dengan cara ini, kebijakan tidak diambil secara subjektif karena Komisi ASN akan memberikan rekomendasi kepada kepala daerah.

Tajuk Rencana Redaksi

 

Selanjutnya baca: Mutasi, Kroni atau Rakyat 

Komentar