Perempuan Sebagai Spirit Pendidikan Perdamaian

Oleh: Luluk Fadilah
Pada awal Mei 2019, Indonesia dinobatkan sebagai Presiden Dewan Keamanan (DK) Persatuan Bangsa-bangsa (PBB). Ini menjadi kabar baik bagi Indonesia kaitannya dengan dunia. Artinya, nilai tawar Indonesia di kancah internasional perannya semakin kuat.
Posisi ini tentu saja tidak semata-mata dipercayakan kepada Indonesia. Harus dikaui, dari dulu Indonesia memang selalu berada di barisan depan dalam urusan perdamaian dunia. Kepercayaan ini pun semakin menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang gigih dan konsisten dalam menciptakan perdamaian di belahan dunia. Meredam konflik antar negara adalah alasan Indonesia terlibat dalam setiap agenda internasioanal.
Seperti kita ketahui bersama, di belahan penjuru dunia, konflik masih menjadi masalah menyedihkan yang tak kunjung menemukan kata damai. Negara-negara konflik seperti Palestina, Suriah, Yaman—misalnya—menjadi isu penting bagi Indonesia dalam mewujudkan dunia damai. Dalam hal ini, tentu saja melalui peran Kementerian Luar Negeri yang turut serta mencari solusi terampuh atas konflik-konflik yang berkepanjangan tersebut.
Dalam sidang DK PBB yang dilaksanakan pada Selasa, 7 Mei 2019, Menlu Retno Marsudi berbicara banyak tentang peran pasukan perdamaian. Tema yang diangkatnya adalah Investing in Peace: Improving Safety and Performance of UN Peace Keepers. Bukan tanpa alasan, tema ini diangkat oleh Indonesia karena adanya insiden Mali pada Januari lalu. Insiden tersebut menegaskan kurangya komitmen politik dan persiapan yang kurang matang. Dampaknya, performa dan keselamatan pasukan perdamaian tidak sesuai harapan.
Soal pasukan perdamaian PBB, Indonesia memiliki rekam prestasi yang baik. Sebut saja Mayor Gembong yang sekarang bertugas dalam misi perdamaian di Kongo (MONUSCO). Prestasi atau capaian Mayor Gembong adalah sukses melakukan reunifikasi keluarga terdampak perang. Hal itu dilakukankan besama timnya dengan dialog bersama para pemimpin masyarakat maupun keluarga.
Setidaknya ada 422 eks-kombatan yang berhasil kembali kepada keluarganya. Inilah yang kemudian disebut oleh Retno bahwa kemampuan para pasukan penjaga perdamaian haruslah lebih dari kemampuan dasar militer semata. Lebih dari itu, pasukan penjaga perdamaian haruslah memliki soft skills yang mumpuni, misal komunikasi dan membangun kepercayaan seperti yang telah dilakukan oleh Mayor Gembong.
Perempuan sebagai Agen Perubahan
Apa yang sudah dilakukan oleh Mayor Gembong dan timnya menjadi bukti bahwa pasukan perdamaian dari kalangan perempuan tidak bisa dipandang seblah mata. Faktanya, mereka lebih efektif dalam hal memenangkan hati dan pikiran masyarakat lokal sehingga mampu menciptakan rasa nyaman bagi mereka yang tengah mengalami trauma konflik.
Menilik prestasi di atas, peran dan partisipasi perempuan dalam proses perdamaian meningkat. Bahkan, dari semua proses yang berlangsung, partisipasi perempuan disinyalir meningkat hingga angka 20%. Karenanya, saat ini pun, Indonesia telah mengirim 100 orang penjaga perdamaian dari kalangan perempuan. Tidak hanya itu, pentingnya peran perempuan dalam perdamaian membuat Indoensia berkomitmen meningkatkan para diplomat mudanya.
Dalam menjadikan perempuan sebagai agen perdamaian, Indonesia melalui Kemenlu tidak main-main. Pada bulan lalu—misal—Indonesia menyelenggarakan ‘Regional Training on Women Peace and Security’ di Jakarta yang melibatkan para diplomat muda perempuan yang ada di kawasan Asia Tenggara. Pelatihan tersebut menjadi bukti nyata  bahwa perempuan adalah agen perdamaian yang harus disiapkan secara matang.
Selain pelatihan di atas, kehadiran Indonesia Peace and Security Center (IPSC) di Sentul, Indonesia menawarkan diri  untuk dijadikan pusat pelatihan pasukan perdamaian internasional. Bagaimana pun juga, pelatihan dan pembentukan kapasitas pasukan perdamaian memerlukan dukungan dan kerja sama dari semua negara-negara anggota. Karenanya, tak heran jika IPSC diatawarkan sebagai pusat pelatihan internasional.
Dengan demikian, peran perempuan dalam perdamaian memang lebih mudah diterima dalam membantu masyarakat perempuan dan anak-anak. Dengan artian, female peacekeepers (Perempuan Penjaga Perdamaian) lebih efektif dalam melakukan langkah-langkah. Bagaimanapun juga, para korban trauma karena konflik dan perang harus mendapat jaminan rasa nyaman.
Oleh karenanya, spirit pendidikan bagi perempuan harus dipompa lebih kencang lagi. Perempuan harus haus akan ilmu pengetahuan. Perempuan harus menjadi sendi-sendi penting dalam pendidikan. Potensi besar perempauan dalam menciptakan perdamaian—bahkan dalam skala internasional—harus didukung dengan pendidikan dan literasi yang kuat.
Artinya, pendidikan adalah hal mendasar yang musti menjadi kesadaran seluruh kaum perempuan di Indoneisa. Apapun alasannya, perempauan adalah pondasi agama dan bangsa. dengan kata lain, kehancuran bangsa dan agama bergantung pada kualitas perempuannya. Inilah alasan kenapa dulu Kartini memperjuangkan pendidikan untuk kaum perempuan.
Keinginan besar Retno Marsudi untuk menjadikan perempuan sebagai pelopor perdamaian dunia harus sebanding dengan kualitas pendidikan perempuan-perempuan di Indonesia. Ya, karena perempuan tidak hanya sekolah bagi anak-anaknya, tapi perempuan adalah oase bagi ketegangan yang mampu menciptakan perdamaian yang sesungguhnya. Dalam hal perdamaian—baik regional, nasional, dan internasional—perempuan adalah agen.
Kopri PB PMII mengadakan acara Talk Show Perempuan Sebagai Spirit dalam Pendidikan untuk Menjaga Perdamaian pada tanggal 17 April 2019 guna mendorong Female Peacekeeperslebih dipromosikan lagi agar seluruh perempuan di Indonesia mengetahui bahwa perempuan adalah tonggak perdamaian. Talk Show ini akan dihadiri oleh Luluk Nur Hamidah (Mabinas PMII) dan Muhtar Said (Intelektual Muda NU) selaku narasumber.
Penulis adalah Bendahara Kopri PB PMII.

Komentar