Bengkulu-bengkuluone.co.id, Aktivis perempuan yang tergabung dalam 8 ORNOP/LSM Perempuan dari 8 Propinsi di Sumatera, termasuk Bengkulu, mendesak masalah Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) Perempuan, dan Kepemimpinan Perempuan untuk kesetaraan perempuan dan laki-laki.
“Data statistik kesehatan yang dikeluarkan Dinas Kesehatan (Dinkes) Propinsi Bengkulu, sepanjang tahun 2016 terjadi 117 kasus Angka Kematian Ibu, angka tersebut mengalami penurunan dari 2015, yaitu 137 kasus. Sedangkan Angka Kematian Ibu (AKI) di Kota Bengkulu mengalami penurunan bila dibandingkan pada 2015 terjadi 15 kasus.
Sementara di tahun 2016 turun menjadi 6 kasus dan 2017 4 kasus,” ungkap Direktur Eksekutif Cahaya Perempuan WCC Bengkulu Artety Sumeri, di Bengkulu.
Dikatakan, data penurunan AKI itu masih sangat rendah jika dibandingkan dengan target Goal 3 SDGs atau tujuan pembangunan berkelanjutan yang menargetkan 70/100.000 kelahiran hidup hingga 2030.
Hal tersebut di tambah dengan beban kerja perempuan di anggap sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap gizi keluarga, membuatnya kurang memahami serta kurang mampu menyediakan makanan sehat dan sesuai dengan selera seluruh anggota keluarga.
“Penyebab lainnya, perempuan sebagian mengalami pernikahan di usia anak, pernikahan dini dan mengalami berbagai bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Misalnya di kabupaten Seluma, rata-rata terjadi 20 kasus pernikahan anak di 22 wilayah Puskesmas atau lebih dari 440 kasus pada tahun 2017,” ujarnya, Jumat, (27/4/2018).
Selain itu dijelaskan, untuk catatan tahunan kekerasan terhadap Perempuan Cahaya Perempuan WCC tahun 2017 dan data media local, menunjukkan kasus KDRT masih kasus tertinggi setiap tahun sebesar 26.84 persen dari 231 kasus, dengan kekerasan seksual pada anak di usia 15 sampai 19 tahun sekitar 72.11 persen,” jelasnya.
Sedangkan untuk penyelesaian KDRT melalui cerai gugat istri tahun 2017 sebanyak 2.255, cerai talak sebesar 888 kasus.
“Periode Januari sampai Maret 2018, tercatat kekerasan terhadap perempuan sebanyak 19 kasus, KDRT 8 kasus dan kekerasan seksual terhadap anak perempuan 11 kasus,” terangnya.
Disamping itu diakui, di tingkat pengambil keputusan, juga minimnya jumlah perempuan di kepemimpinan publik, dan minim yang memahami issue ketimpangan hubungan perempuan dan laki-laki, khususnya antara isteri dan suami, maupun issue ketidaksetaraan gender lainnya.
Apalagi hasil Pemilu 2014 sampai 2019 yang lalu mencatat, jumlah perempuan di DPRD Kota Bengkulu, misalnya hanya 9 perempuan dan laki-laki 26 orang, rata-rata hampir semua DPRD kabupaten/kota di Bengkulu belum memenuhi kuota 30 persen,” terangnya. Oleh karena itu berpijak dari persoalan sebagai issue utama di tahun politik ini, ditambahkan, pihaknya akan membawanya sebagai kontrak politik dengan kandidat.
“Menghitung mundur 60 hari menuju Pilkada Kota Bengkulu, pihaknya menyerukan agar seluruh calon Kepala Daerah memastikan masalah HKSR perempuan, kekerasan terhadap perempuan dan kepemimpinan perempuan. Kemudian membuka ruang komunikasi untuk dialog dengan para aktivis dan LSM perempuan. Sehingga seluruh pemilih perempuan melihat dengan kritis agenda politik para calon, dan memilih mereka yang mendukung agenda perubahan posisi perempuan untuk setara dengan laki-laki. Selanjutnya memonitoring seluruh proses menuju dan di hari H PILKADA agar PILKADA BERSIH, bebas politik uang, intimidasi, issue sara dan berbagai bentuk kekerasan lainnya. Jika ada pelanggaran catat dan adukan,” demikian Tety.(red-1)
Komentar