Sukmawati Memantik Api

Tajuk Rencana-bengkuluone.co.id, Puisi ‘Ibu Indonesia’ Sukmawati Soekarno Putri yang di dalamnya menyinggung tentang yariat Islam, cadar dan Azan menimbulkan kontroversial ditengah masyarakat.  Puisi itu dibacakan Sukmawati dalam acara ’29 Tahun Anne Avantie Berkarya’ di Indonesia Fashion Week 2018. Video pembacaan puisi itu lalu beredar dan ramai dibahas, bukan pujian yang datang, banjir kecaman justeru dialamatkan kepada anak Putera Sang Fajar, sebagai buntut dari puisi SARA.

Kecaman  terhadap Sukmawati tersebut bukan tanpa alasan. Dalam puisinya Sukmawati terang-terangan menyinggung simbol-simbol keislaman dalam bait-bait kontroversial. Di awal puisi Sukmawati telah mendeklarasikan diri tak tahu syariat Islam.

Akan tetapi pengakuannya tak tahu syariat islam diikuti dengan ungkapan sari konde lebih cantik dari cadar, kemudian di bait-bait berikutnya Sukmawati mengagungkan suara kidung, yang dikatakannya sangatlah elok. lebih keji lagi  kidung disebut lebih merdu dari alunan adzan, yang seharusnya tidak perlu dibandigkan sebab Adzan merupakan panggilan suci bagi umat islam menandakan panggilan untuk melaksanakan Shalat menghadap Allah SWT.

Syair puisi yang penuh kontroversi sebab  mengagungkan simbol-simbol kebangsaan sempit lalu di saat yang sama metelakkan simbol-simbol Islam yang agung pada posisi yang lebih rendah, kekejian itu yang menyulut reaksi keras umat Islam. Ya, hampir semua kalangan muslim sepakat mengatakan Sukmawati telah melakukan kesalahan. Cadar, juga azan merupakan bagian tak terpisahkan dalam syariat Islam.

Puisi itu menjadi bukti bahwa Sukmawati buta sejarah. Teriakan takbir Allahu Akbar, bagian tak terpisahkan dari azan, telah tercatat sebagai bagian penting dalam kobaran semangat melawan penjajahan. Ketika merendahkan azan, dia sebenarnya telah menghina para pejuang dan para syuhada yang telah gugur dan meneteskan darah dalam memperjuangkan kemerdekakan Indonesia.

Sangatlah tak pantas jika seorang anak Proklamator tak mau tahu tentang itu. Pasti alasan kuat dari dalam diri Sukmawati yang mendorong munculnya ekspresi seperti tertuang pada Ibu Indonesia. Sulit diterima jika alasan ketidaktahuan yang diajukan. Jika memang ekspresi itu bagian dari islamofobia, maka tak lain dan tak bukan sikap itu muncul dari rasa kebencian.

Kebencian terhadap Islam selama ini telah menghinggapi kelompok ultranasionalis di Barat, yang akhir-akhir ini terang menunjukkan sikap perlawanan terhadap Islam. Tokoh-tokoh penganut nasionalis berlebih di Amerika Serikat, Perancis, Jerman, hingga Belanda begitu nyata sikap permusuhannya terhadap simbol-simbol Islam dan kaum muslim.

Berkaca pada kondisi itu, apakah sikap Sukmawati merupakan bagian dari tren yang tengah tumbuh di kalangan pemuja nasionalisme? Di Barat, ekspresi permusuhan kelompok ultranasionalis kepada Islam begitu terlihat meski mereka tak berkuasa. Semestinya, siapa pun tak boleh berpikiran untuk mengadopsinya di Indonesia, negara yang kemerdekaannya dipenuhi gaung takbir para syuhada

Komentar