Tanpa Bukti Yang Cukup, Riduan Mukti Bebas

Tajuk Rencana-bengkuluone.co.id, Pembacaan putusan terkait dugaan menerima suap Gubernur Bengkulu non aktif Riduan Mukti akan dibacakan pada 11/1/2017 yang tinggal beberapa hari lagi, menjelang putusan hakim menimbulkan spekulasi di masyarakat, bahkan sebagian masyarakat mengingikan supaya majelis Hakim dapat membebaskan Riduan Mukti, hal ini menjadi pembicaraan netizen di beberapa group diskusi Media Sosial Facebook.

Munculnya kontroversi Riduan Mukti akan bebas tentunya bukan tanpa alasan, jika di lihat dari inti perbicaraan netizen pada beberapa group facebook tersebut dapat ditangkap sebagian dari masyarakat masih meragukan pembuktian yang dilakukan oleh komisi pemberantasan korupsi (KPK), artinya Publik tidak begitu saja menilai setiap orang yang dijadikan tersangka bersalah, namun publik memiliki independensi dan sikap kritis terhadap tindakan yang dilakukan oleh KPK.

Sikap kritis publik tersebut harus di apresiasi sebab tanpa kritik tentu KPK dapat menjadi lembaga yang cenderung otoriter tanpa salah sedikitpun, padahal sama-sama kita ketahui bahwa sejauh ini 2 Hakim berani memutus bebas terdakwa yang diajukan KPK. Hakim Rinnaldi Triandiko, PN Pekan baru dalam perkara dugaan suap pembahasan APBD Riau tahun 2011 yang mendudukan Suparman sebagai terdakwa KPK, dan Hakim Asyaryadi yang memutus bebas Muchtar Muhammad walikota Bekasi yang sempat menjadi terdakwa KPK.

Putusan bebas yang dijatuhkan hakim terhadap kedua terdakwa KPK tersebut tentu melalui proses yang panjang di persidangan, diawali dengan pembacaan dakwaan, pemeriksaan saksi, penuntutan dan terakhir Palu hakimlah yang menentukan nasib seseorang apakah terbukti dengan meyakinkan atau tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi yang didakwakan kepadanya.

Kembali ke kasus Dugaan suap dalam Operasi tangkap tangan (OTT) terhadap gubernur Bengkulu non aktif dinilai akademisi memiliki peluang bebas jika dilihat secara objektif. Dr Wilson Ghandi,SH.M.Hum akademisi dari Universitas Prof Dr Hazairin memprediksi peluang Ridwan Mukti bebas sangat terbuka. “Jika melihat runtutan kasus tersebut, peluang Ridwan Mukti bebas cukup terbuka lebar,” kata Dr Wilson, (3/1/2017) saat ditemui rekan media diruang kerjanya, kampus Pasca Sarjana Unihaz.

“Kasus OTT KPK yang menjerat Ridwan Mukti beda dengan yang menjerat istrinya, Lily Martiani Maddari dan kontraktor yang ter OTT oleh KPK dalam kasus tersebut”. Menurut pendapatnya, Ridwan Mukti tidak seharusnya ditetapkan sebagai tersangka. Sebab, belum terpenuhi dua alat bukti yang sah menurut KUHP. “Dia (Ridwan Mukti) bukan kena OTT, bahkan dia tidak berada ditempat saat OTT berlangsung, selain itu alat bukti dan keterangan saksi juga tidak mengarah ke Ridwan Mukti,” papar Dr Wilson.

Di dalam hukum acara pidana pembuktian merupakan titik sentral di dalam pemeriksaan perkara di pengadilan, karena melalui tahapan pembuktian inilah terjadi suatu proses, cara, perbuatan membuktikan untuk menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa terhadap suatu perkara pidana di dalam sidang pengadilan.

“Ridwan Mukti tidak mengakui, istrinya juga membantah, keterangan terdakwa lain juga begitu, alat bukti lemah dan tidak bisa dipaksakan. Majelis hakim akan menilai semuanya, ” imbuh Wilson

Menurut hukum, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang hanya berdasarkan keyakinan saja, melainkan harus didukung dengan minimal dua alat bukti yang sah, didalam Pasal 183 Undang-Undang No 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) selengkapnya berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Dari bunyi Pasal 183 KUHAP di atas, dapat dipahami bahwa untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus:
1. Kesalahannya terbukti sekurang-kurangnya “dua alat bukti yang sah”, dan
2. Atas keterbuktian minimal dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan benar terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Ketika aparat penegak hukum menggunakan alat bukti yang diperoleh dengan cara yang tidak sah (unlawful legal evidence) maka bukti tersebut tidak punya nilai pembuktian sehingga harus dikesampingkan oleh hakim (Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016).

Selanjutnya alat bukti yang dihadirkan di persidangan juga harus kualitatif (relevan) dengan kasusnya. Sebanyak apapun bukti yang dihadirkan jika tidak ada relevansinya maka alat bukti tersebut tidak punya nilai pembuktian (nol), sejauh ini sebagian publik menilai bukti dan saksi yang dihadirkan dalam OTT Riduan Mukti tidak memiliki relevansi seperti dihadirkanya saksi yang memberi keterangan terkait Dugaan perkara korupsi lain yang tidak berhubungan dengan perkara OTT Riduan Mukti, adanya keterangan saksi yang tidak memiliki relevansi dengan dugaan suap yang disangkakan kepada gubernur Bengkulu non aktif bisa saja menjadi strategi pembuktian yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum, namun di balik itu hakim haruslah tetap objektif dalam menilai kesaksian.

Sebagai seorang hakim, memang diberikan kewenangan subjektif untuk meyakini apakah seseorang itu bersalah atau tidak. Namun keyakinannya tersebut tidak boleh berdiri sendiri. Melainkan harus bersumber dari alat-alat bukti atau minimal dua alat bukti yang sah seperti diuraikan di atas.

Sah-sah saja semua orang di dunia ini, termasuk hakim berkeyakinan jika si A bersalah. Namun kalau bicara hukum, seharusnya kita tetap berpegang teguh pada hukum acara (KUHAP) yang berlaku. menurut Prof. Subekti, 2015 yang mengatakan, keyakinan hakim itu harus didasarkan pada sesuatu yang oleh undang-undang dinamakan alat bukti. Apabila hakim mendasarkan putusannya hanya kepada keyakinannya semata, maka disitulah ketidakpastian hukum dan kesewenang-wenangan terjadi.

 

Tajuk Rencana Redaksi

Komentar